Kasih Untuk Semua

KASIH UNTUK SEMUA.
Sebuah KERINDUAN; bahwa kasih itu tak mampu dibatasi tembok-tembok perbedaan. Kasih kami untuk semua.

Jumat, 01 April 2011

Serat mugi katur dhumateng Pasamuwan Gemeinde Maxhuette Haidhof ing Negari Jerman.


Dear.
Gemeinde Maxhuette Haidhof
Germany

Shalom.
Through this letter, we – “Posko Kerinduan” – extend our gratitude and highest appreciation for your support and helpfulness donation due post-disaster recovery programs of Merapi Volcano eruption. The donation – contributed by the "Gemeinde Maxhuette Haidhof" in Germany – was given to us through Rev. Dr. Josef M.N. Hehanussa, M.Th. and Rev. Dr. Murtini Hehanussa (Pastor in the Parish "Gereja Kristen Jawa - Christian Church
of Java - Jatimulyo", Yogyakarta, Indonesia) in cash amounting 10.743.000 Rupiahs (910 €).

“Posko Kerinduan” is an emergency unit under Gereja Kristen Jawa (Christian Church
of Java) Jatimulyo, Yogyakarta, Indonesia, as our response to help the victims of Merapi Volcano eruption disaster, which is still remaining nowadays as secondary effect of its main eruption.

The donation described above had distributed to recover the victims which are still facing economy problems, especially in Jamblangan Village, Srumbung, Sleman, Yogyakarta Province. Based on our surveys at the site which had been conducted to evaluate their local economy potential, we decided to distribute the assistance in the form of animals as livestock, especially goats. The villagers could breed the goats easily because there are plentiful resources to feed the animals in Jamblangan and its surroundings. In other hand, goats can breed twice a year with 4 babies in average each. It means, by breeding goats, the villagers could get better financial profit and sooner recover their own economy condition.

Anyway, we spent a portion of the donation to buy medicines and consumable logistic such as rice, oil, eggs, and spices. We believed that logistic supply is necessary in an emergency because the villagers couldn’t have plantation or farming due the land damage, poor drainage, and buried by eruption materials (volcanic ash and sand flood). The land needs much more time to be available to be used in farming or plantation as the villagers’ main occupation.

Considering the condition of Jamblangan (and its neighbors), it is clear that people in this area need more continuous and sustainable assistance, in a long period, until they can support their selves. We thank to the Lord of the donation from the "Gemeinde Maxhuette Haidhof” which helped the people in Jamblangan and took part of their suffering.

Therefore, we hope the "Gemeinde Maxhuette Haidhof” would like to assist more victims of Merapi eruption, and would like to take a part in a long journey of sustainable assistance in order to help these people to be self-supported. “Posko Kerinduan” is always ready to facilitate the assistance delivery to the victims; moreover – if our resources are available – we will distribute it to some villages which are already supported by “Posko Kerinduan” in Cangkringan, Sleman and in Srumbung, Magelang, Central Java Province.

Here are all of things we should inform to the "Gemeinde Maxhuette Haidhof". We hope, this beautiful partnership in the field of ministry of the Jesus Lord will continue in the future. We are grateful to God and pray for the God’s great blessings to the "Gemeinde Maxhuette Haidhof” in Germany.
Our
regards to all of you.

Yogyakarta, 25 th March 2011
Sincerely yours
“posko kerinduan”
(sts/doc-poskeri)

Rabu, 16 Maret 2011

Hallo mas Tentrem .......


“Niki nembe bidhal ……….. setengah jam malih kulo dugi ngriku …. Nggih … nggih …” (“ini baru berangkat …… setengah jam lagi saya sampai disitu …. ya …. ya ..”) jawab kami ketika memulai perjalanan Selasa (15 Maret 2011) pagi kemarin. Belum jauh perjalanan dari Posko kami tempuh saat menerima telefon mas Tentrem. Speedometer masih menunjukkan kisaran angka 15 KM perjalanan yang kami tempuh.
Kami tidak tau jeroan hati mas Tentrem saat itu. Malam sebelumnya kami memang sudah kontak beliau, mengabarkan kalau harapan dan permintaan bantuannya tempo hari untuk mendapatkan gedheg (anyaman bambu) yang akan dipakainya membangun hunian sederhana telah kami peroleh, dan keesokannya akan kami antarkan ke Srunen, Kalitengah Lor, Cangkringan; dusun teratas di dinding selatan Merapi, sekitar 4 KM dari Puncak Merapi, dusun asal mas Tentrem. Senang, bahagia, hopeful, atau bahkan mungkin juga sampai kebawa mimpi, sama dengan ketika kami menerima kabar menggembirakan, apapun itu … barangkali itu yang ada dihatinya. Harapan untuk dapat segera membangun “istana”nya di tanah leluhur sudah di ambang mata, meski pemerintah menetapkan Srunen sebagai KRB I, kawasan yang kelak hanya akan dijadikan hutan wisata, bukan lagi sebagai hunian manusia. Tapi kami mencoba memahami emosi kekerabatan, apalagi sebagai “orang jawa” tulen, yang bercokol di benak penduduk Srunen. Meski orang lain mengatakan ‘berbahaya’ namun mereka tetap akan menempuh segalanya demi tanah leluhur yang selama ini telah menghidupi, memberikan pelajaran hidup, menempa mereka dalam mengarungi hidup, memberikan kepuasan batin, kepuasan hidup dan kepuasan-kepuasan lain yang sulit mereka peroleh di tempat lain, (meski barangkali di tempat lain mereka bisa mendapatkannya lebih daripada di tanah leluhurnya itu).
Jawaban kami “setengah jam malih kulo dugi ngriku” membuat kami harus berpacu dengan waktu. Pedal gas kami injak sedikit lebih dalam. Kami tidak berani menginjaknya terlalu dalam. Mobil pengangkut gedheg terlihat berayun-ayun setiap kali melintas di jalan yang bergelombang, terlalu berat muatannya, sehingga kami butuh berhenti tiga kali untuk sampai Srunen, guna membongkar-muat kembali gedheg-gedheg yang berubah posisi. Itupun masih ditambah jadwal kami untuk mengantar pakaian pantas pakai khusus pria di barak pengungsian Kiyaran. Barak pengungsian Kiyaran dihuni 200-an penduduk dusun Srodokan dan dusun Gungan, Wukirsari – Cangkringan. Beberapa keluarga asal Gungan dan Srodokan memang telah memperoleh Huntara (hunian sementara/shelter) yang dibangun pemerintah, namun huntara belum selesai 100% dari yang direncanakan pemerintah, sehingga masih ada yang harus menempati di gedung SDN Kiyaran. Khusus kebutuhan pakaian pantas pakai pengungsi di Kiyaran ini kami peroleh ketika membaca harian “RJ” edisi Sabtu, 26 Februari 2011 halaman 14. “Pengungsi Wukirsari Kekurangan Pakaian Pria” yang menjadi judul, serasa menohok kami, bagaimana tidak menohok kalau selama ini kami kira segala kebutuhan pengungsi telah tercukupi eh ….ternyata bertolak belakang dengan perkiraan kami. Minggu, 6 Maret 2011 lalu kami cari lokasi Kiyaran dan kami temukan juga akhirnya. Dalam perbincangan kami waktu itu dengan koordinator barak Kiyaran, mas Wahana, kami peroleh beberapa data pendukung. Baru kemarin kami bisa mengantarkan pakaian pantas pakai pria itu. (Maafkan atas keterlambatan kami ini mas Wahana)
Tidak lama kami di Kiyaran, setelah ketemu sebentar dengan mas Wahana dan menyerahkan pakaian pantas pakai itu, mobil segera kapi putar arah menyusuri jalanan menuju Srunen. Dam kali Gendol masih nampak sisa-sisa banjir kemarin sore ketika kami meninggalkan Bronggang menuju Gadingan. 
“Mampiiiiiir ……..” Lambaian tangan dan teriakan pak Pardi beserta teman-teman saat kami melintas di depan Posko Gadingan, salah satu dusun dampingan kami selama ini, membuat semangat kami terpompa. Kami membalas sapaan itu dengan menekan klakson dan lambaian-tangan pula. Ekspresi muka cerah, senyum melebar, rona gembira terlihat di wajah pak Pardi Cs. Begitu pula hati dan wajah kami. Mereka saudara-saudara kami yang telah Tuhan pertemukan melalui bangunnya Merapi tahun lalu. Kami tidak sempat mampir, perjalanan masih jauh. Di bawah spanduk merah terbentang di atas jalan “Anda Masuk Pada Zona 10 KM dari G. Merapi - satuan tugas nasional penanggulangan Bencana G. Merapi” kami ditunggu mas Tentrem. Disitu pula kami bongkar muat lagi 25 lembar gedheg-gedheg yang sudah melorot, hampir jatuh berantakan. Talipun kami tambah agar gedheg tidak berubah posisi lagi, mengingat jalan yang akan kami tempuh menanjak dan banyak yang berlubang. Jalanan serasa milik kakek kami yang menjadi tuan tanah …… sepi, kanan-kiri hanya terlihat hamparan semak & cekungan-cekungan, pandangan mata menjadi luas tanpa tembok yang menghalangi sampai kami tiba di “eks” dusun Srunen (hehehehe ….  kami tidak tau, apakah masih layak disebut dusun kalau hampir seluruh penduduknya beberapa bulan ini meninggalkannya). Yang tersisa nyata hanyalah jalanan dusun yang dulunya sudah dikeraskan dengan adonan semen dan beberapa rumah yang tidak roboh juga diterjang hembusan awan panas, hanya segelintir yang masih mampu berdiri, meski belepotan debu dan pasir. Motor mas Tentrem berhenti di gubug bergenteng baru, berdinding terpal yang kami kirim beberapa waktu lalu. ‘gubug’ paling atas di Srunen. Di belakang gubug terhampar bekas lahan ladang mereka dulu dan kemudian nampaklah “Sang Satu yang merepotkan banyak orang”, Merapi dengan puncaknya. Di sebelah kiri gubug, sekira 500 meter terhampar ujung kali gendol yang masih suka membuat repot manusia disisi kanan-kirinya ketika hujan deras di puncak.
Gedheg kami turunkan, beras dan logistik lainpun kami turunkan di gubug itu. Peluh di sekujur tubuh serasa tidak begitu menggangu kami, karena hawa sejuk dan hembusan angin yang ada. Teh hangat yang disediakan kami teguk dengan nikmat sambil ngobrol dengan mas Tentrem yang pengantin baru, beserta istri & ibunya. Di gubug ukuran 4X4 meter itu terpasang instalasi listrik sederhana, mempergunakan tenaga surya bantuan dari Universitas Sanata Dharma, yang mampu menghidupkan neon sebesar 60 watt. “Yen dalu pun saged nyetel TV nggih bu ??” (kalau malam sudah bisa menghidupkan TV ya bu?) tanya kami.
“nggih mboten, tiyang yen sonten utawi langit mendung lajeng sami mandhap …” (ya tidak, orang kalo sore atau langit mendung terus pada turun) kata bu Muji, bunda mas Tentrem.
Baru kami sadari, betapa bodohnya pertanyaan kami itu. Dengan jarak sekian dari puncak, ditambah lagi mayoritas ‘eks’ penduduknya masih pada di bawah atau di shelter, ditambah lagi jalanan yang tidak mendukung untuk evakuasi andaikata terjadi hal yang membahayakan, ditambah lagi jauhnya lokasi itu dari zona aman; bagaimana mungkin mereka berani nyenyak terlelap dimalam hari dalam gubugnya ??
Mungkin juga keputusan kami membantu pengadaan gedheg itu dianggap sebagai tindakan bodoh. Buat apa membantu gedheg kalo Srunen merupakan daerah rawan bencana, yang oleh pemerintah sudah ditetapkan sebagai kawasan wisata hutan ?? apakah dengan adanya bantuan itu berarti kami mengamini keinginan penduduk untuk tetap berada di zona bahaya ? ‘buat apa’ dan ‘apakah’ lainnya mungkin masih banyak bermunculan dengan derasnya menyikapi bantuan itu, tapi bukan itu semua yang kami jadikan alasan utama. Sejauh penduduk merasa lebih nyaman dan bahagia menjalani hidup di habitatnya sendiri, tidak ada salahnya kami bantu mereka. Kami yakin, mereka lebih mengetahui segala seluk-beluk daerahnya dengan berbagai potensinya, lebih dari yang kami ketahui. Dan yang paling pokok adalah bahwa ada bantuan dan dukungan istimewa, bukan sekedar gedheg dan logistik yang akan kami berikan, yakni Doa yang tulus. Kami mendukung dalam doa dengan cara kami, sama seperti mereka yang juga tiada hentinya beribadah kepada Tuhannya lima waktu sehari. 
Mas Tentrem …… bertekunlah dalam doa, karena kami yakin Tuhan akan mendengar seruan doa kita. (sts/doc.poskeri)

Rabu, 02 Maret 2011

Tamu Kami di Posko


 “Siapa saja yang bisa berangkat siang ini ?? …… mas Jumbo ? …. mas Memed ?” tanya ketua Posko Kerinduan Sabtu siang kemarin (26 Februari 2011) ketika koordinasi untuk mengantarkan logistik dan pakaian pantas pakai ke dusun Mudal, Cangkingan. 

“Taksih wonten uwos mboten pak ? Logistik teng mriki pun kantun sekedhik. Menawi wonten, kulo nyuwun” (masih ada beras nggak pak ? logistik disini sudah menipis. Kalau ada kami minta). Ya, siang itu kami berkoordinasi menanggapi telefon pak Madi tempo hari. Kami perhatikan sungguh-sungguh isi pembicaraan telefon dengan pak Madi tempo hari. Bagaimana mereka bisa beraktifitas kalau makanan untuk menambah tenaga saja tidak ada ? Dengan tenaga mana lagi mereka akan bangkit dari keterpurukan yang melanda mereka ??
Sayang, Posko tidak ada kendaraan yang bisa muat mengangkut logistik dan pakaian pantas pakai yang mereka pinta, sehingga kami bersepakat untuk mengantarnya memakai beberapa kendaraan roda dua, namun setelah kami packing ternyata dengan memakai kendaraan roda dua tidaklah mungkin. Harus memakai kendaraan roda empat, dan upaya kami untuk mendapatkan mobil guna mengangkut bantuan itupun tidak berhasil.

“Coba telefon pak Madi, barangkali disana ada kendaraan yang bisa mengambilnya” kata mas Memed. Dan kamipun menelfonnya. Puji Tuhan, ada mobil yang bisa mengambilnya ke Posko.
Sore hari pak Madi datang ke Posko bersama istri dan mas Daryono, adiknya. Kami senang mereka bisa melihat Posko kami. Biasanya kami yang datang kepada mereka, kali ini mereka yang mendatangi kami. 

“Kulo bibar kapusan mas” (saya habis tertipu mas) kata pak Madi
“Maksud panjenengan kapusan dospundi ?” (maksud pak Madi tertipu gimana?) tanya kami
“Minggu lalu kami mencari bantuan kemana-mana, dan kami sampai di …… (beliau menyebutkan alamat pasti dan nomor telephone Posko itu) dan ditemui seorang pemuda. Lalu dia katakan ingin survey untuk diajukan bantuan ke Semarang. Saya antar muter-muter di daerah kami agar melihat sendiri kondisi kami. Puas saya antar puter-puter, dia minta proposal dan kami berikan data riil kondisi kami. Tapi anehnya dia juga meminta uang untuk mengantar proposal itu ke Semarang. Sebenarnya istri dan adik saya sudah mengingatkan saya : “Ojo diwenehi mas, ora ono Posko sing njaluk-njaluk, malah Posko kuwi menehi bantuan” (jangan diberi mas, nggak ada Posko yang meminta-minta tetapi justru memberikan bantuan). Tapi saya berprinsip : ya sudahlah, kalau memang dia mau menipu, nanti Tuhan sendiri yang akan mengingatkannya. Dan saya beri dia seratus ribu rupiah, seperti yang dia minta. Dia menunjukkan KTPnya, beralamat Semarang. Dia meninggalkan nomor HP juga, tapi kemarin ketika saya telfon tidak pernah diangkat. Ya sudah ….. kalau dia tega pada kami ya monggo saja, pasti kami akan mendapatkan gantinya kok” cerita pak Madi. Ngeres banget ……….. begitu teganya mas-mas itu. Apa dia tidak berpikir, seandainya dia yang jadi korban bencana lalu ditipu orang lain, apa yang akan dia perbuat ? bagaimana pula perasaannya ketika kena tipu dalam kondisi seperti itu ? puaskah dia ketika membelanjakan uang hasil tipu-menipunya itu ? Tuhan, sadarkan mas-mas itu ……….

“Pak Madi, kami mohon maaf kali ini tidak bisa mengantar bantuan ini karena tidak adanya mobil untuk mengangkutnya, tapi kami senang pak Madi bisa rawuh ke Posko kami, sekalian agar bisa melihat basecamp kami yang nggak karu-karuan ini.” Kata kami ketika menemuinya "hanya" di luar ruangan.
“Mohon maaf juga, tidak banyak yang bisa kami salurkan bantuan dari donatur untuk Mudal, tapi semoga saja bisa membantu sedikit meringankan beban saudara-saudara di Mudal. Ini hanya beras, gula, teh, susu bayi, dan pakaian pantas pakai. Nanti akan kami usahakan lagi, kita saling berdoa saja nggih pak, …..”
Bantuan yang sudah kami packing itupun kami masukkan kedalam mobil, dan rombongan pak Madi-pun segera pamit setelah sempat ngobrol beberapa puluh menit. Mereka harus mengejar waktu, sore itu puncak hujan dan air kali winongo sudah meluap masuk ke halaman penduduk di suatu dusun daerah Cangkringan. Kalau mereka terlambat, bisa-bisa tidak bisa menyebrang kali Gendol sore itu, mesti memutar lewat Prambanan.

Selamat jalan pak Madi, kami bangga bisa kenal dengan sampeyan yang aktif mencarikan bantuan bagi pengungsi di dusun panjenengan, bukan bagi sampeyan sendiri. Kami sungguh merasa terhormat bisa bekerjasama dengan sampeyan dalam misi kemanusiaan ini. (sts/doc.poskeri)

Jumat, 25 Februari 2011

Pesing ??? Nggak jadi masalah !!

………... “Uuambune reeeeek …….. pesing banget !!!”
………... “Iki ki gereja opo kandang wedhus to ?”
…………. “Gereja dodolan wedhus po ?”
Beberapa guyonan Jemaat terlontar ketika datang ke gereja Minggu pagi, 20 Februari 2011 kemarin lusa. Terlihat rona bersinar beberapa jemaat ketika melihat sekumpulan kambing di halaman belakang gereja. Ada pula yang terlihat keheran-heranan menyaksikan itu semua. Anak-anak Sekolah Minggu terlihat riang mendekati hewan-hewan itu. Sesekali ada yang memegang ekor ataupun badan kambing-kambing itu. Pagi itu di belakang Gereja memang terkumpul tigabelas ekor kambing, hasil “perburuan” posko kerinduan di beberapa tempat tempo hari, yang akan dikirimkan ke penduduk dusun Jamblangan, Srumbung Kabupaten-Magelang untuk dikembang-biakkan. (Sumber dana pengadaan kambing-kambing itu dari Negeri Jerman, melalui Pdt. Dr. Jozef MN Hehanussa, M.Th. dan Pdt. Dr. Murtini Hehanussa.)

Gereja yang selama ini hanya terdengar suara alunan lagu dan diskusi dari jemaat, pagi itu bertambah meriah dengan adanya “paduan suara” (yang entah dengan nada dasar dan notasi apa, kami sendiri juga bingung untuk mencari jawabnya) …. Embeeek …….. embeeeeeek …… kadang juga ada suara yang ‘blero’ (fals) dan ada juga yang mengeluarkan suara fibrasi. Hehehe … Kambingpun ketika bersuara bisa fibrasi juga ternyata.

Lega rasanya, ketika pergumulan, perjuangan, dan jerih-payah yang kami lakukan selama lebih dari dua minggu sejak kesepakatan terakhir kami dengan penduduk Jamblangan untuk bekerjasama dalam rangka pemulihan perekonomian disana bisa terwujud. Yang semula masih berupa angan dan impian, hari itu kami berhasil mengusir jauh-jauh impian dan angan, menggantikannya dengan mewujudnyatakan impian  bersama ini.

Selesai mempersiapkan segala sesuatunya, sekitar pkl. 10.30, kamipun segera menuju Jamblangan, didampingi pendeta jemaat kami : Pdt. Dr. Murtini Hehanussa, serta Pdt. Dr. Jozef MN Hehanussa, M.Th. (suami pdt. Murtini Hehanussa), dan Pdt. Wisnu Tri Handayani, S.Si. (tamu gereja dari GKJ Tanjung Priok Jakarta).

Sama seperti yang kami rasakan saat itu, penduduk Jamblangan-pun menyambut gembira “warga baru” mereka yang saling berdesakan di bak mobil terbuka. Tua-muda sampai anak-anak berseliweran kesana-kemari mengamati dan mengelus-elus kambing-kambing yang masih berada di bak mobil itu.

Sulit untuk menggambarkan seberapa gembiranya penduduk Jamblangan, yang dalam waktu dekat segera menerima “momongan” baru selain yang sudah nampak di depan mata mereka itu. Ada beberapa kambing dalam kondisi bunting, yang akan segera “menghasilkan” momongan baru lagi. Kambing yang mereka pelihara akan segera beranak-pinak. Satu lagi karya besar Tuhan telah menuntun seluruh rencana dan perjalanan panjang kami ini.

Ketika apa yang kami lakukan dapat menjadikan orang lain bahagia, rasanya enggan bagi kami untuk tidak terlarut dengan suka-cita yang mereka rasa dan ingin berlama-lama berada diantara mereka. Rasa haru dan bahagia menggelayut di hati kami, melihat itu semua. Namun mengingat jadwal kami yang padat pada hari itu, kami putuskan untuk segera meninggalkan Jamblangan, meninggalkan suka-cita mereka, masih ada saudara-saudara kita korban bencana Merapi di lain tempat yang harus kami sambangi. 

Dari Jamblangan rombongan kami pecah dua, satu rombongan menuju Kaliurang untuk menyerahkan sepasang kambing dan satu rombongan lagi menuju Kalitengah Lor, Cangkringan. Dan lagi-lagi kami masih menerima keluhan penduduk Kalitengah Lor.

“Mbok yen pareng, diparingi gedhek (anyaman bambu) kersane saged kulo angge damel griyo mas …” (kalau boleh, kami minta anyaman bambu untuk membangun rumah kami) ucap mas Tentrem menyela pembicaraan kami waktu itu. Salah satu kebutuhan mereka terucap, dan ini menjadi perhatian kami. Selagi kami masih mampu tentu saja akan kami usahakan. Kalau mereka bisa hidup paling tidak mendekati layak, tentu saja akan menjadi kebahagiaan kami juga.

“Nggih mas Tentrem, kami usahakan segera” jawab kami. Satu kebutuhan telah tercatat lagi dan kami percaya akan terujud sama seperti ketika kami bisa mewujudkan impian penduduk Jamblangan, karena segala sesuatu yang kami lakukan hanya kami percayakan dan berserah dalam campur tangan Tuhan saja, tidak kepada siapapun kecuali DIA !!. “Karena itu saudara-saudara kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pelayanan Tuhan ! Sebab kamu tahu bahwa di dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia” (I Korintus 15 : 58)
 
Tuhan, akan kami ingat selalu Firman-Mu itu. Jadikan kami sebagai orang yang teguh, tidak mudah goyah dan giat dalam pelayananMu agar hidup kami tidak sia-sia. (sts/doc.poskeri)

Kamis, 17 Februari 2011

Kambing, Batako dan Terpal ……. Cukupkah ??

Minggu, 13 Februari 2011 kemarin kami rasakan benar-benar menjadi salah satu hari sibuk dan melelahkan diantara hari-hari lainnya. Ada beberapa agenda yang mesti kami lakukan. Siang hari, seusai menghadiri undangan makan siang di kediaman teman, kami segera meluncur untuk mengunjungi dusun Jamblangan, Srumbung Magelang. Satu kepentingan kami disana adalah untuk membicarakan lebih lanjut tentang bantuan pengadaan kambing untuk dipelihara penduduk, dengan system “gadhuh”yang mereka tawarkan (system gadhuh adalah pola kerjasama “pemodal” dengan “produsen”; biasanya dengan pola pembagian hasil 50% : 50%). Pada akhir pembicaraan kami tidak sepakat dengan bagi hasil yang mereka tawarkan sebesar 50% : 50%, kami justru meminta 60% : 40%; 60% untuk mereka dan 40% untuk Posko. 

Rasanya aneh, mengapa kami meminta keuntungan yang akan kami peroleh justru lebih kecil daripada yang mereka tawarkan semula ? Bukankah dengan pembagian hasil 50% : 50% kami akan “mendapatkan hasil” lebih banyak daripada 60% : 40% ? Banyak alasan yang mendasari kami menentukan sikap itu, diantaranya adalah dengan system keuntungan mereka lebih besar daripada yang selama ini diterapkan dimanapun, mereka akan semakin serius memelihara kambing-kambing itu, dan pemulihan perekonomian mereka juga akan semakin cepat dan itu berarti juga bahwa penerima kerjasama ini akan semakin cepat merambah dan merata kepada penduduk disana, karena keuntungan sebesar 40% yang akan kami peroleh kemudian akan kami gulirkan lagi kepada penduduk yang belum sempat mendapatkan bantuan itu, sehingga pada gilirannya, kami berharap seluruh penduduk dusun Jamblangan bisa mempunyai peliharaan kambing yang untuk selanjutnya (harapan kami, : paling tidak) perekonomian di satu titik bisa berjalan normal seperti semula, sama seperti sebelum terkena dampak erupsi Merapi.

Selasa, dua hari pasca terjadi deal dengan penduduk Jamblangan, kami baru bisa mendapatkan duabelas ekor kambing, yang kami peroleh setelah keluar-masuk pedesaan sampai daerah Godean, Sleman. Ada sembilan kambing betina yang beberapa diantaranya sudah bunting. Sedangkan di daerah Jatimulyo kami mendapatkan seekor betina dalam kondisi bunting dan dua ekor calon pejantan. Harga sudah kami sepakati dan saat itu juga kami bayar. Transaksi berjalan sukses, dan kamipun segera prepare ke dua dusun di daerah Cangkringan untuk dua keperluan yang berbeda. 

Sore hari kami meluncur ke dusun Gadingan, Wukirsari, Cangkringan. Disana kami menyerahkan kekurangan uang tunai yang kami janjikan sebagai bantuan pengadaan modal alat cetak batako sebesar empat juta rupiah (total harga pengadaan alat cetak sebesar tujuh juta rupiah, tiga juta rupiah sudah kami berikan beberapa waktu lalu). Puji Tuhan, dengan bantuan pengadaan alat cetak batako ini, mereka sudah mulai berproduksi dengan kapasitas 800 buah batako per harinya, dan mereka sudah mendapatkan order 7000 batako per minggu untuk pembangunan selter. 

“Monggo diminum dulu tehnya, mumpung masih hangat” kata pak Pardi, koordinator posko Gadingan, setelah kami selesai menyerahkan kekurangan bantuan uang tunai dan mendokumentasikan kegiatan dan hasil pembuatan batako. Sore itu mendung sudah menggelayut di atas Gadingan, disertai beberapa kali suara guntur. Melihat kami berkemas-kemas dan kami utarakan bahwa kami masih harus melanjutkan perjalanan ke dusun Kalitengah Lor, Glagah Harjo, Cangkringan (dusun terakhir yang berpenduduk, berjarak 4 KM dari puncak Merapi) untuk memberikan bantuan beberapa Tenda terpal, dengan nada serius pak Pardi berujar : “Jangan meneruskan kesana. Pokoknya saya minta jangan meneruskan kesana, cuacanya tidak memungkinkan untuk saat ini.”

“Tapi kami sudah terlanjur berjanji dan terlanjur sudah sampai sini juga pak, kan tinggal naik sedikit. Kasihan mereka sudah menunggu kami” sahut kami. Ya, melihat situasi kayak itu kami justru kepikiran penduduk Kalitengah Lor. Bagaimana mereka bisa berteduh dari terpaan hujan kalau bantuan tenda yang kami bawa harus tertunda ?? Tenda harus segera mereka terima.
“Saya minta tolong, untuk sore ini jangan dulu. Besok saja kalau cuaca cerah saya kabari sehingga teman-teman Posko Kerinduan bisa naik ke Kalitengah Lor” pinta pak Pardi lagi.
“Kalau kami naik ke dusun Mudal saja bagaimana pak ?” Tanya kami meminta pertimbangan pak Pardi.
“Kalau hanya sampai dusun Mudal, silahkan, tetapi hanya sampai Mudal saja nggih …” jawab pak Pardi memberikan advis pada kami.
Hujan turun dengan derasnya, dan kami segera naik ke dusun Mudal, ke rumah pak Manto, rumah tinggal yang dipakai sebagai pos pengungsi mandiri oleh hampir tigapuluh jiwa dari dusun Kalitengah Lor. Disana kami ditemui oleh kaum wanita, karena kaum pria belum turun dari atas. Kami serahkan tali-temali, lima terpal plastik dan beberapa kilogram paku untuk membangun bedeng tinggal sementara, yang mereka bangun di Kalitengah Lor, dusun asal mereka. Tidak banyak memang.

“Iki mbah, iso dinggo lunga njagong. Sak iki iso ora mung nyeker yen arep kondangan (ini mbah, bisa dipakai pergi resepsi, tidak hanya telanjang kaki lagi kalau mau pergi resepsi) seloroh beberapa ibu muda kepada nenek-nenek pengungsi yang ada disitu, ketika kami sampaikan duapuluhlima pasang sepatu dan sepatu sandal, bantuan donatur yang disampaikan lewat Posko Kerinduan beberapa waktu lalu. Senang rasanya mendengar seloroh itu. Bersyukur bahwa dengan seloroh itu berarti pula mereka sudah tidak begitu fokus lagi pada peristiwa mengerikan yang telah mereka alami beberapa bulan lalu dan sedikit-sedikit sudah mulai bisa melupakan kesedihan itu,. ( ….. terimakasih untuk donatur sepatu, bantuan anda sudah kami sampaikan dan diterima dengan senang hati oleh yang menerimanya).

Dengan turunnya hujan yang deras itu, memaksa kami untuk ikut merasakan bagaimana susahnya hidup dalam satu tempat berdesak-desakan dengan orang lain, meski yang kami alami hanya beberapa puluh menit, tidak sama dengan yang mereka jalani selama ini. Tuhan mengajar kami melalui caraNya sendiri. Mata hati kami dibukakan sedikit demi sedikit melalui rangkaian peristiwa ini. Thank’s God …. Jadikan mata hati kami tetap terbuka dan dapat melihat dengan jernih segala peristiwa di sekitar kami. Jadikan pula agar kami mampu dan mau peduli kepada sesama.

“Maaf mas, kami “ngusir” sampeyan untuk kembali ke kota sekarang, karena kami kuatir, kalau terlanjur terjadi banjir lahar dingin kayak kemarin sore, mas-mas nanti tidak bisa nyebrang kali Gendol. Mesti jalan memutar jauh lewat Prambanan” kata mas Gondhes, salah satu pemuda yang baru saja turun dari Kalitengah Lor mengingatkan kami. 

Kamipun segera pamit pulang. Atas seluruh rencana Tuhan pula, kami dapat menyebrang kali Gendol yang waktu hanya mengalirkan sedikit air panas dan seperti biasanya, mengeluarkan asap beraroma belerang yang menyengat di hidung. (sts/doc.poskeri)

Kamis, 10 Februari 2011

Banyutumumpang

 “Selamat pagi pak, mau tanya, apakah bener ini nomer posko kerinduan ?” suara seorang perempuan disebrang sana ketika kami angkat telephone yang berdering Jumat pagi, 4 Februari 2011, sehari setelah hari raya Imlek minggu kemarin. 

“Betul ibu …. Ada yang bisa kami bantu ?”
“Apakah poskonya masih buka pak ?” lanjut ibu itu. Bagi kami agak menggelikan juga mendengar pertanyaan itu, tetapi segera kami sadari bahwa itu adalah pertanyaan wajar, mengingat kebanyakan posko berdiri ketika Merapi erupsi mengeluarkan awan panas lebih dari tiga bulan yang lalu, dan bantuan dari donatur sudah habis terdistribusi, sehingga sudah tidak ada stok apapun di posko. Banyak posko yang sudah “gulung tikar” setelah bekerja satu-dua bulan. 

“Ooh, masih ibu. Kami masih buka, kami masih bergerak” jawab kami.
“Begini pak, nama saya bu Susilowati dari dusun Banyutumumpang, Desa Krogowanan, Sawangan, Kabupaten Magelang. Kalau boleh kami mau minta bantuan HT (handy-talky) untuk dusun kami, karena didusun kami tidak ada yang punya HT sehingga tidak bisa mengetahui ketika banjir lahar dingin datang. Malam sebelum Imlek kemarin dusun kami kena terjangan banjir lahar dingin, karena tidak mengetahui kalau atas (Merapi) hujan deras. Kalau kami mempunyai HT, kami bisa memonitor situasi di atas melalui HT itu”.
“Maaf ibu, kalau boleh tau, dari mana ibu mendapatkan alamat posko kami ?” potong kami. Kami benar-benar penasaran, ketika sekarang sudah jarang yang datang ke posko untuk meminta bantuan logistik, eh …. pagi ini kok masih ada juga yang meminta bantuan melalui telephone dan belum pernah kontak melalui apapun sebelumnya. Ya, karena sekarang justru kami yang aktif menyisir ke berbagai lokasi bencana untuk mencari orang yang perlu dibantu.

“Dari internet pak” sahut bu Susi. Canggih juga ibu ini, pikir kami.( ….. tetapi kami malu ketika pada akhirnya mengetahui bahwa bu Susi adalah seorang sarjana pendidikan yang tentu saja sudah akrab dengan internet. Menyesal juga telah under-estimate bahwa dusun yang hanya berjarak sepuluh kilometer dari puncak merapi itu pasti tidak ada yang kenal dengan mbah Google, simbah segala simbah dunia kini……. Maafkan kami bu Susi) 

“Begini bu Susi, terus terang kami belum pernah memberikan bantuan macam itu. Selama ini kami menyalurkan bantuan berupa logistik dan pendampingan mental korban bencana dan sekarang menginjak pada program membangkitkan perekonomian mereka, tetapi permintaan ibu ini saya terima, saya tampung dulu untuk kami bicarakan dengan teman-teman di posko yang kebetulan besok sore ada jadwal rapat koordinasi. Kami minta nomor kontak ibu saja, besok kami akan kabari ibu”.

Sabtu malam ketika rapat koordinasi, diputuskan bahwa Banyutumumpang harus dibantu pengadaan HT, meski hanya satu buah. Paling tidak untuk monitoring berita dari pos pengamatan Merapi. Ini menyangkut nyawa, jangan sampai hanya karena tidak mengetahui keadaan di atas kemudian malah menimbulkan korban jiwa. Keputusan ini kami ambil dengan kesadaran penuh, disisa-sisa tenaga kami hari itu yang terkuras, mengingat siang sampai sore hari itu kami ke dusun Mudal, Argomulyo- Cangkringan dan kami teruskan naik ke Kali Tengah untuk survey dan droping logistik.

Senin sore kami datangi beberapa toko yang menyediakan HT; Puji Tuhan, masih ada pemilik toko yang peduli saudara-saudaranya yang terancam jiwanya. Kami dapatkan toko yang mau membantu memberikan harga lebih murah untuk keperluan ini. Tuhan memang Hebat, apapun yang kita lakukan dengan dilandasi percaya dan memohon campurtanganNya, Tuhan pasti berikan.

Begitu kami dapatkan HT itu, sore itu juga kami meluncur ke Sawangan, menyerahkannya kepada penduduk Banyutumumpang yang diwakili pak Yanto, ketua RT setempat, disaksikan bu Susi dan suami serta beberapa penduduk sana. Dalam kegelapan malam itu, memakai lampu senter, kami sempat diajak menyaksikan ke tepi pertemuan dua sungai besar yang berhulu di puncak Merapi, Kali Senowo dan kali Pabelan, yang hanya beberapa puluh meter jaraknya dari tepi dusun Banyutumumpang.

Kami bersyukur bahwa kebutuhan mendesak di Banyutumumpang dapat terpenuhi malam itu juga. Kami percaya bahwa itu semua bisa terjadi hanya karena Tuhan yang mengatur, termasuk juga tidak kuatir banjir lahar dingin menghadang perjalanan kami ketika melewati Jumoyo, dan terbukti Tuhan telah atur segalanya.

Bu Susi, bersyukurlah karena Tuhan berkenan memakai panjenengan sebagai alatNya. Jangan cepat menyerah dalam menghadapi ancaman apapun, karena Tuhan tidak akan pernah tinggal diam. Tolong ibu doakan kami agar Tuhan berkenan juga memakai kami sebagai alatNya sama seperti ibu telah dipakaiNya, sehingga kami bisa semakin leluasa bergerak membantu saudara-saudara yang lain. 

Doa kami menyertai Banyutumumpang selalu.(sts/doc.poskeri)

Selasa, 08 Februari 2011

Masih Ada Yang Tercecer

Mengenaskan …… masih terlihat sisa-sisa puing bangunan ketika kami memasuki dusun Kalitengah Lor, dusun teratas/terdekat (jika kita naik lewat Gadingan) dari Gunung Merapi. Hanya empat kilometer jaraknya dari puncak Merapi. Suasana sejuk menyebabkan kami betah ketika melakukan survey lokasi, mencari tau kebutuhan lain yang mendesak bagi dusun Kalitengah Lor Sabtu siang kemarin, kami datang membawa logistik untuk kami salurkan kepada mereka. Tidak banyak memang, namun paling tidak bisa mengurangi beban yang harus mereka pikul.

Belum lama kami disana, tiba-tiba dikagetkan dengan datangnya angin yang berhembus begitu kencang. Kamipun sedikit panik ketika mendengar gemuruhnya ngin kencang di badan gunung. Penduduk setempat yang menemani kami tidak ingin berlama-lama disana, mereka lebih tau situasi setempat daripada kami. Mereka ajak kami untuk segera berjalan menuju rumah-rumah penduduk, meskipun rumah-rumah itu banyak yang hancur terkena material pasir Merapi saat erupsi 4 november tahun lalu.

Kami melihat sudah banyak warga yang beraktifitas memperbaiki rumah mereka dengan kemampuan mereka yang terbatas. Tidak punya batu bata atau batako, bambu irisanpun mereka pakai sebagai penguat terpal yang difungsikan sebagai dinding rumah, sehingga bisa untuk meminimalisir hawa dingin yang masuk kedalam rumah mereka. Pepatah “tidak ada rotan, akarpun jadi” mereka terapkan. Sungguh sikap yang perlu kami acungi jempol.

“Genteng ini bantuan dari pemerintah ataukah posko, bu  ?” Tanya kami pada bu Yati, penduduk setempat yang mendampingi kami siang itu.
“Tidak mas, kami swadaya membelanjakan sisa dari uang kami untuk membeli kebutuhan genteng itu. Mau dapat dari mana lagi ?” jawab bu Yati dengan nada datar, seolah putus asa, tidak berpengharapan lagi.
“Lho, memangnya tidak ada bantuan untuk membangun kembali rumah ibu yang sudah rusak ini ? Terus apa saja bantuan yang pernah ibu terima selama ini ?” Tanya kami lebih lanjut.
“Ya Logistik, tapi itu dulu mas, waktu masih di barak pengungsian. Kalau sekarang diberi syukur, enggak diberi ya cari sendiri, wong kami ya lebih bersyukur sudah diberi kesempatan hidup kok mas” kata bu Yati sambil tersenyum. Filosofi sederhana yang hampir saja hilang dari pengimanan kami karena terlena dalam situasi yang jauh berbeda dengan yang mereka alami saat ini.

“Selimut juga ada mas, …. bantuan dari posko setempat, cuma sekarang ini kami masih butuh terpal untuk menutup dinding rumah agar didalam rumah menjadi lebih hangat. Maklum, wong lantainya saja masih pasir, jadi kalau hujan airnya merembes ke lantai sehingga suasana semakin dingin”. Mengharukan, disaat masyarakat di lain tempat bisa betah di rumah yang hangat ketika hujan datang, sementara mereka harus kedinginan didalam rumah mereka yang masih belum berbentuk.

Kami makin miris mendengar deruman angin di luar rumah, itupun masih ditambah lagi kabut mulai turun menyelimuti dusun. Kamipun segera pamit pulang ke posko, karena malam harinya kami masih harus mengikuti rapat koordinasi posko.

Ah, ternyata masih ada tidak yang terhilang diantara tumpukan korban bencana. Masih ada yang sangat memerlukan perhatian kita. Tuhan sertai ciptaanMu yang masih tercecer dari jamahan kemanusiaan ini. Sertai dan berkati langkah kami, agar mereka juga bias merasakan kehangatan rumah dan keluarganya, sama seperti yang telah Engkau berikan pada kami. (sts-ms/doc.poskeri)