Minggu, 13 Februari 2011 kemarin kami rasakan benar-benar menjadi salah satu hari sibuk dan melelahkan diantara hari-hari lainnya. Ada beberapa agenda yang mesti kami lakukan. Siang hari, seusai menghadiri undangan makan siang di kediaman teman, kami segera meluncur untuk mengunjungi dusun Jamblangan, Srumbung Magelang. Satu kepentingan kami disana adalah untuk membicarakan lebih lanjut tentang bantuan pengadaan kambing untuk dipelihara penduduk, dengan system “gadhuh”yang mereka tawarkan (system gadhuh adalah pola kerjasama “pemodal” dengan “produsen”; biasanya dengan pola pembagian hasil 50% : 50%). Pada akhir pembicaraan kami tidak sepakat dengan bagi hasil yang mereka tawarkan sebesar 50% : 50%, kami justru meminta 60% : 40%; 60% untuk mereka dan 40% untuk Posko.
Rasanya aneh, mengapa kami meminta keuntungan yang akan kami peroleh justru lebih kecil daripada yang mereka tawarkan semula ? Bukankah dengan pembagian hasil 50% : 50% kami akan “mendapatkan hasil” lebih banyak daripada 60% : 40% ? Banyak alasan yang mendasari kami menentukan sikap itu, diantaranya adalah dengan system keuntungan mereka lebih besar daripada yang selama ini diterapkan dimanapun, mereka akan semakin serius memelihara kambing-kambing itu, dan pemulihan perekonomian mereka juga akan semakin cepat dan itu berarti juga bahwa penerima kerjasama ini akan semakin cepat merambah dan merata kepada penduduk disana, karena keuntungan sebesar 40% yang akan kami peroleh kemudian akan kami gulirkan lagi kepada penduduk yang belum sempat mendapatkan bantuan itu, sehingga pada gilirannya, kami berharap seluruh penduduk dusun Jamblangan bisa mempunyai peliharaan kambing yang untuk selanjutnya (harapan kami, : paling tidak) perekonomian di satu titik bisa berjalan normal seperti semula, sama seperti sebelum terkena dampak erupsi Merapi.


“Monggo diminum dulu tehnya, mumpung masih hangat” kata pak Pardi, koordinator posko Gadingan, setelah kami selesai menyerahkan kekurangan bantuan uang tunai dan mendokumentasikan kegiatan dan hasil pembuatan batako. Sore itu mendung sudah menggelayut di atas Gadingan, disertai beberapa kali suara guntur. Melihat kami berkemas-kemas dan kami utarakan bahwa kami masih harus melanjutkan perjalanan ke dusun Kalitengah Lor, Glagah Harjo, Cangkringan (dusun terakhir yang berpenduduk, berjarak 4 KM dari puncak Merapi) untuk memberikan bantuan beberapa Tenda terpal, dengan nada serius pak Pardi berujar : “Jangan meneruskan kesana. Pokoknya saya minta jangan meneruskan kesana, cuacanya tidak memungkinkan untuk saat ini.”
“Tapi kami sudah terlanjur berjanji dan terlanjur sudah sampai sini juga pak, kan tinggal naik sedikit. Kasihan mereka sudah menunggu kami” sahut kami. Ya, melihat situasi kayak itu kami justru kepikiran penduduk Kalitengah Lor. Bagaimana mereka bisa berteduh dari terpaan hujan kalau bantuan tenda yang kami bawa harus tertunda ?? Tenda harus segera mereka terima.
“Saya minta tolong, untuk sore ini jangan dulu. Besok saja kalau cuaca cerah saya kabari sehingga teman-teman Posko Kerinduan bisa naik ke Kalitengah Lor” pinta pak Pardi lagi.
“Kalau kami naik ke dusun Mudal saja bagaimana pak ?” Tanya kami meminta pertimbangan pak Pardi.
“Kalau hanya sampai dusun Mudal, silahkan, tetapi hanya sampai Mudal saja nggih …” jawab pak Pardi memberikan advis pada kami.


Dengan turunnya hujan yang deras itu, memaksa kami untuk ikut merasakan bagaimana susahnya hidup dalam satu tempat berdesak-desakan dengan orang lain, meski yang kami alami hanya beberapa puluh menit, tidak sama dengan yang mereka jalani selama ini. Tuhan mengajar kami melalui caraNya sendiri. Mata hati kami dibukakan sedikit demi sedikit melalui rangkaian peristiwa ini. Thank’s God …. Jadikan mata hati kami tetap terbuka dan dapat melihat dengan jernih segala peristiwa di sekitar kami. Jadikan pula agar kami mampu dan mau peduli kepada sesama.
“Maaf mas, kami “ngusir” sampeyan untuk kembali ke kota sekarang, karena kami kuatir, kalau terlanjur terjadi banjir lahar dingin kayak kemarin sore, mas-mas nanti tidak bisa nyebrang kali Gendol. Mesti jalan memutar jauh lewat Prambanan” kata mas Gondhes, salah satu pemuda yang baru saja turun dari Kalitengah Lor mengingatkan kami.
siep...
BalasHapus