Kasih Untuk Semua

KASIH UNTUK SEMUA.
Sebuah KERINDUAN; bahwa kasih itu tak mampu dibatasi tembok-tembok perbedaan. Kasih kami untuk semua.

Rabu, 16 Maret 2011

Hallo mas Tentrem .......


“Niki nembe bidhal ……….. setengah jam malih kulo dugi ngriku …. Nggih … nggih …” (“ini baru berangkat …… setengah jam lagi saya sampai disitu …. ya …. ya ..”) jawab kami ketika memulai perjalanan Selasa (15 Maret 2011) pagi kemarin. Belum jauh perjalanan dari Posko kami tempuh saat menerima telefon mas Tentrem. Speedometer masih menunjukkan kisaran angka 15 KM perjalanan yang kami tempuh.
Kami tidak tau jeroan hati mas Tentrem saat itu. Malam sebelumnya kami memang sudah kontak beliau, mengabarkan kalau harapan dan permintaan bantuannya tempo hari untuk mendapatkan gedheg (anyaman bambu) yang akan dipakainya membangun hunian sederhana telah kami peroleh, dan keesokannya akan kami antarkan ke Srunen, Kalitengah Lor, Cangkringan; dusun teratas di dinding selatan Merapi, sekitar 4 KM dari Puncak Merapi, dusun asal mas Tentrem. Senang, bahagia, hopeful, atau bahkan mungkin juga sampai kebawa mimpi, sama dengan ketika kami menerima kabar menggembirakan, apapun itu … barangkali itu yang ada dihatinya. Harapan untuk dapat segera membangun “istana”nya di tanah leluhur sudah di ambang mata, meski pemerintah menetapkan Srunen sebagai KRB I, kawasan yang kelak hanya akan dijadikan hutan wisata, bukan lagi sebagai hunian manusia. Tapi kami mencoba memahami emosi kekerabatan, apalagi sebagai “orang jawa” tulen, yang bercokol di benak penduduk Srunen. Meski orang lain mengatakan ‘berbahaya’ namun mereka tetap akan menempuh segalanya demi tanah leluhur yang selama ini telah menghidupi, memberikan pelajaran hidup, menempa mereka dalam mengarungi hidup, memberikan kepuasan batin, kepuasan hidup dan kepuasan-kepuasan lain yang sulit mereka peroleh di tempat lain, (meski barangkali di tempat lain mereka bisa mendapatkannya lebih daripada di tanah leluhurnya itu).
Jawaban kami “setengah jam malih kulo dugi ngriku” membuat kami harus berpacu dengan waktu. Pedal gas kami injak sedikit lebih dalam. Kami tidak berani menginjaknya terlalu dalam. Mobil pengangkut gedheg terlihat berayun-ayun setiap kali melintas di jalan yang bergelombang, terlalu berat muatannya, sehingga kami butuh berhenti tiga kali untuk sampai Srunen, guna membongkar-muat kembali gedheg-gedheg yang berubah posisi. Itupun masih ditambah jadwal kami untuk mengantar pakaian pantas pakai khusus pria di barak pengungsian Kiyaran. Barak pengungsian Kiyaran dihuni 200-an penduduk dusun Srodokan dan dusun Gungan, Wukirsari – Cangkringan. Beberapa keluarga asal Gungan dan Srodokan memang telah memperoleh Huntara (hunian sementara/shelter) yang dibangun pemerintah, namun huntara belum selesai 100% dari yang direncanakan pemerintah, sehingga masih ada yang harus menempati di gedung SDN Kiyaran. Khusus kebutuhan pakaian pantas pakai pengungsi di Kiyaran ini kami peroleh ketika membaca harian “RJ” edisi Sabtu, 26 Februari 2011 halaman 14. “Pengungsi Wukirsari Kekurangan Pakaian Pria” yang menjadi judul, serasa menohok kami, bagaimana tidak menohok kalau selama ini kami kira segala kebutuhan pengungsi telah tercukupi eh ….ternyata bertolak belakang dengan perkiraan kami. Minggu, 6 Maret 2011 lalu kami cari lokasi Kiyaran dan kami temukan juga akhirnya. Dalam perbincangan kami waktu itu dengan koordinator barak Kiyaran, mas Wahana, kami peroleh beberapa data pendukung. Baru kemarin kami bisa mengantarkan pakaian pantas pakai pria itu. (Maafkan atas keterlambatan kami ini mas Wahana)
Tidak lama kami di Kiyaran, setelah ketemu sebentar dengan mas Wahana dan menyerahkan pakaian pantas pakai itu, mobil segera kapi putar arah menyusuri jalanan menuju Srunen. Dam kali Gendol masih nampak sisa-sisa banjir kemarin sore ketika kami meninggalkan Bronggang menuju Gadingan. 
“Mampiiiiiir ……..” Lambaian tangan dan teriakan pak Pardi beserta teman-teman saat kami melintas di depan Posko Gadingan, salah satu dusun dampingan kami selama ini, membuat semangat kami terpompa. Kami membalas sapaan itu dengan menekan klakson dan lambaian-tangan pula. Ekspresi muka cerah, senyum melebar, rona gembira terlihat di wajah pak Pardi Cs. Begitu pula hati dan wajah kami. Mereka saudara-saudara kami yang telah Tuhan pertemukan melalui bangunnya Merapi tahun lalu. Kami tidak sempat mampir, perjalanan masih jauh. Di bawah spanduk merah terbentang di atas jalan “Anda Masuk Pada Zona 10 KM dari G. Merapi - satuan tugas nasional penanggulangan Bencana G. Merapi” kami ditunggu mas Tentrem. Disitu pula kami bongkar muat lagi 25 lembar gedheg-gedheg yang sudah melorot, hampir jatuh berantakan. Talipun kami tambah agar gedheg tidak berubah posisi lagi, mengingat jalan yang akan kami tempuh menanjak dan banyak yang berlubang. Jalanan serasa milik kakek kami yang menjadi tuan tanah …… sepi, kanan-kiri hanya terlihat hamparan semak & cekungan-cekungan, pandangan mata menjadi luas tanpa tembok yang menghalangi sampai kami tiba di “eks” dusun Srunen (hehehehe ….  kami tidak tau, apakah masih layak disebut dusun kalau hampir seluruh penduduknya beberapa bulan ini meninggalkannya). Yang tersisa nyata hanyalah jalanan dusun yang dulunya sudah dikeraskan dengan adonan semen dan beberapa rumah yang tidak roboh juga diterjang hembusan awan panas, hanya segelintir yang masih mampu berdiri, meski belepotan debu dan pasir. Motor mas Tentrem berhenti di gubug bergenteng baru, berdinding terpal yang kami kirim beberapa waktu lalu. ‘gubug’ paling atas di Srunen. Di belakang gubug terhampar bekas lahan ladang mereka dulu dan kemudian nampaklah “Sang Satu yang merepotkan banyak orang”, Merapi dengan puncaknya. Di sebelah kiri gubug, sekira 500 meter terhampar ujung kali gendol yang masih suka membuat repot manusia disisi kanan-kirinya ketika hujan deras di puncak.
Gedheg kami turunkan, beras dan logistik lainpun kami turunkan di gubug itu. Peluh di sekujur tubuh serasa tidak begitu menggangu kami, karena hawa sejuk dan hembusan angin yang ada. Teh hangat yang disediakan kami teguk dengan nikmat sambil ngobrol dengan mas Tentrem yang pengantin baru, beserta istri & ibunya. Di gubug ukuran 4X4 meter itu terpasang instalasi listrik sederhana, mempergunakan tenaga surya bantuan dari Universitas Sanata Dharma, yang mampu menghidupkan neon sebesar 60 watt. “Yen dalu pun saged nyetel TV nggih bu ??” (kalau malam sudah bisa menghidupkan TV ya bu?) tanya kami.
“nggih mboten, tiyang yen sonten utawi langit mendung lajeng sami mandhap …” (ya tidak, orang kalo sore atau langit mendung terus pada turun) kata bu Muji, bunda mas Tentrem.
Baru kami sadari, betapa bodohnya pertanyaan kami itu. Dengan jarak sekian dari puncak, ditambah lagi mayoritas ‘eks’ penduduknya masih pada di bawah atau di shelter, ditambah lagi jalanan yang tidak mendukung untuk evakuasi andaikata terjadi hal yang membahayakan, ditambah lagi jauhnya lokasi itu dari zona aman; bagaimana mungkin mereka berani nyenyak terlelap dimalam hari dalam gubugnya ??
Mungkin juga keputusan kami membantu pengadaan gedheg itu dianggap sebagai tindakan bodoh. Buat apa membantu gedheg kalo Srunen merupakan daerah rawan bencana, yang oleh pemerintah sudah ditetapkan sebagai kawasan wisata hutan ?? apakah dengan adanya bantuan itu berarti kami mengamini keinginan penduduk untuk tetap berada di zona bahaya ? ‘buat apa’ dan ‘apakah’ lainnya mungkin masih banyak bermunculan dengan derasnya menyikapi bantuan itu, tapi bukan itu semua yang kami jadikan alasan utama. Sejauh penduduk merasa lebih nyaman dan bahagia menjalani hidup di habitatnya sendiri, tidak ada salahnya kami bantu mereka. Kami yakin, mereka lebih mengetahui segala seluk-beluk daerahnya dengan berbagai potensinya, lebih dari yang kami ketahui. Dan yang paling pokok adalah bahwa ada bantuan dan dukungan istimewa, bukan sekedar gedheg dan logistik yang akan kami berikan, yakni Doa yang tulus. Kami mendukung dalam doa dengan cara kami, sama seperti mereka yang juga tiada hentinya beribadah kepada Tuhannya lima waktu sehari. 
Mas Tentrem …… bertekunlah dalam doa, karena kami yakin Tuhan akan mendengar seruan doa kita. (sts/doc.poskeri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar