
Kami tidak tau jeroan hati mas Tentrem saat itu. Malam sebelumnya kami memang sudah kontak beliau, mengabarkan kalau harapan dan permintaan bantuannya tempo hari untuk mendapatkan gedheg (anyaman bambu) yang akan dipakainya membangun hunian sederhana telah kami peroleh, dan keesokannya akan kami antarkan ke Srunen, Kalitengah Lor, Cangkringan; dusun teratas di dinding selatan Merapi, sekitar 4 KM dari Puncak Merapi, dusun asal mas Tentrem. Senang, bahagia, hopeful, atau bahkan mungkin juga sampai kebawa mimpi, sama dengan ketika kami menerima kabar menggembirakan, apapun itu … barangkali itu yang ada dihatinya. Harapan untuk dapat segera membangun “istana”nya di tanah leluhur sudah di ambang mata, meski pemerintah menetapkan Srunen sebagai KRB I, kawasan yang kelak hanya akan dijadikan hutan wisata, bukan lagi sebagai hunian manusia. Tapi kami mencoba memahami emosi kekerabatan, apalagi sebagai “orang jawa” tulen, yang bercokol di benak penduduk Srunen. Meski orang lain mengatakan ‘berbahaya’ namun mereka tetap akan menempuh segalanya demi tanah leluhur yang selama ini telah menghidupi, memberikan pelajaran hidup, menempa mereka dalam mengarungi hidup, memberikan kepuasan batin, kepuasan hidup dan kepuasan-kepuasan lain yang sulit mereka peroleh di tempat lain, (meski barangkali di tempat lain mereka bisa mendapatkannya lebih daripada di tanah leluhurnya itu).
Jawaban kami “setengah jam malih kulo dugi ngriku” membuat kami harus berpacu dengan waktu. Pedal gas kami injak sedikit lebih dalam. Kami tidak berani menginjaknya terlalu dalam. Mobil pengangkut gedheg terlihat berayun-ayun setiap kali melintas di jalan yang bergelombang, terlalu berat muatannya, sehingga kami butuh berhenti tiga kali untuk sampai Srunen, guna membongkar-muat kembali gedheg-gedheg yang berubah posisi. Itupun masih ditambah jadwal kami untuk mengantar pakaian pantas pakai khusus pria di barak pengungsian Kiyaran. Barak pengungsian Kiyaran dihuni 200-an penduduk dusun Srodokan dan dusun Gungan, Wukirsari – Cangkringan. Beberapa keluarga asal Gungan dan Srodokan memang telah memperoleh Huntara (hunian sementara/shelter) yang dibangun pemerintah, namun huntara belum selesai 100% dari yang direncanakan pemerintah, sehingga masih ada yang harus menempati di gedung SDN Kiyaran. Khusus kebutuhan pakaian pantas pakai pengungsi di Kiyaran ini kami peroleh ketika membaca harian “RJ” edisi Sabtu, 26 Februari 2011 halaman 14. “Pengungsi Wukirsari Kekurangan Pakaian Pria” yang menjadi judul, serasa menohok kami, bagaimana tidak menohok kalau selama ini kami kira segala kebutuhan pengungsi telah tercukupi eh ….ternyata bertolak belakang dengan perkiraan kami. Minggu, 6 Maret 2011 lalu kami cari lokasi Kiyaran dan kami temukan juga akhirnya. Dalam perbincangan kami waktu itu dengan koordinator barak Kiyaran, mas Wahana, kami peroleh beberapa data pendukung. Baru kemarin kami bisa mengantarkan pakaian pantas pakai pria itu. (Maafkan atas keterlambatan kami ini mas Wahana)
Tidak lama kami di Kiyaran, setelah ketemu sebentar dengan mas Wahana dan menyerahkan pakaian pantas pakai itu, mobil segera kapi putar arah menyusuri jalanan menuju Srunen. Dam kali Gendol masih nampak sisa-sisa banjir kemarin sore ketika kami meninggalkan Bronggang menuju Gadingan.


“nggih mboten, tiyang yen sonten utawi langit mendung lajeng sami mandhap …” (ya tidak, orang kalo sore atau langit mendung terus pada turun) kata bu Muji, bunda mas Tentrem.
Baru kami sadari, betapa bodohnya pertanyaan kami itu. Dengan jarak sekian dari puncak, ditambah lagi mayoritas ‘eks’ penduduknya masih pada di bawah atau di shelter, ditambah lagi jalanan yang tidak mendukung untuk evakuasi andaikata terjadi hal yang membahayakan, ditambah lagi jauhnya lokasi itu dari zona aman; bagaimana mungkin mereka berani nyenyak terlelap dimalam hari dalam gubugnya ??

Mas Tentrem …… bertekunlah dalam doa, karena kami yakin Tuhan akan mendengar seruan doa kita. (sts/doc.poskeri)